Rabu, 12 September 2012

Mau Dibawa kemana Prestasi Bangsa Ini !.

Berita yang menyebutkan bahwa Menpora Andi Mallarangeng menegur PSSI agar tidak mengacaukan PON, terkesan sangat baik.

Teguran tersebut menunjukkan, Menpora bekerja secara sungguh-sungguh dan ingin mencegah terjadinya gangguan pada pelaksanaan PON XVIII, PON Pemersatu. Teguran Menpora terkait tindakan pengurus PSSI versi Djohar Arifin yang menarik para wasit PSSI menjelang penyelenggaraan turnamen sepakbola PON.

Akibat penarikan wasit itu, pelaksanaan pertandingan sepakbola sempat terganggu sebab panitia pelaksana harus mencari wasit pengganti dalam situasi kepepet. Tapi patutkah Menpora menegur PSSI, di saat kinerja Menpora sebagai petinggi Indonesia yang bertanggung jawab dalam dunia olahraga nasional sedang dipertanyakan?

Apapun alasan Menpora, carut marut yang terjadi dalam pelaksanaan PON XVIII tidak lepas dari rendahnya kinerja sang Menteri. Andi Mallarangeng yang sebelumnya dikenal sebagai seorang intelektual muda yang berwawasan, sehingga ketika diangkat selaku Jubir Presiden SBY, mampu menampilkan citra SBY sebagai pemimpin yang berkualitas, setelah diangkat menjadi Menpora justru melempem.

Lihat saja carut marut dalam PON XVIII sehingga terkesan Menpora tidak bekerja sebagaimana seharusnya, tidak melakukan pengawasan atas persiapan PON yang digelar 4 tahun sekali itu. Atau kalaupun Menpora melakukan tugas itu, dia tidak melakukannya dengan "hati". Menpora tidak menghayati apa hakekat PON, pesta olahraga yang digelar sejak 1948, untuk mempersatukan bangsa Indonesia.

Tanpa dia sadari, penyelenggaraan PON kali ini dengan dana yang mengucurkan dana triliunan rupiah, selaku pembantu Presiden SBY, Menpora telah ikut merusak citra atasannya. Betapa rugi bangsanya ini akibat PON yang sudah dibiayai dengan dana triliunan rupiah, hasilnya hanya menghasilkan konflik.

Menpora patut dimintai tanggung jawab, sebab selain PON Riau yang penuh carut marut, kekisruhan yang mengawali penyelenggaraan PON XVIII, mengingatkan peristiwa yang hampir serupa yang terjadi dalam penyelenggaraan SEA Games November 2011 lalu. Dimana sangat terasa, Menpora "tidak hadir" secara fisik dan kejiwaan dalam event internasional tersebut.

Ketika Palembang dan Jakarta menjadi tuan rumah SEA Games 2011, banyak venue dan infrastruktur di Palembang yang tidak selesai sesuai waktu yang dijadwalkan. Hiruk pikuk yang bersumber pada kegagalan berkoordinasi di antara panitia, terdengar dimana-mana.

Akibatnya, SEA Games dapat terselenggara tetapi begitu banyak "bopeng" yang terjadi di sana. Pasca SEA Games panitia masih dibebani oleh tuntutan tagihan ratusan miliar sejumlah kontraktor.

Menpora patut didesak mundur dari jabatannya. Karena baik PON XVIII dan SEA Games 2011, juga menghadirkan kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat dinas olahraga yang nota bene merupakan anak buah Menteri Mallarangeng.

Selain SEA Games dan PON, Menpora sebagai penanggung jawab tertinggi di dunia olahraga nasional, juga telah gagal membawa misi Indonesia di Olimpiade London, Juli-Agustus 2012 lalu.

Di pesta olahraga dunia itu, Indonesia tidak meraih medali emas sama sekali. Bulutangkis yang sejak dipertandingkan di Olimpiade selalu mempersembahkan emas kepada bangsa, di era kepimpinan Andi Mallarangeng, tidak membawa medali sama sekali. Dan ini untuk pertama kalinya bulutangkis tanpa medali emas!

Tidak hanya itu pebulutangkis Indonesia didiskualifikasi dari pertandingan setelah "bermain sabun", hal yang bertentangan dengan sportifitas dan spirit olahraga.

Memang yang bertanding di lapangan, bukan Menpora. Begitu pula yang mengerjakan proyek PON dan SEA Games, bukan Menteri Mallarangeng. Tapi kegagalan demi kegagalan di atas dan terjadi dalam waktu yang berurutan pada tempo yang berdekatan, cukup menunjukkan Menpora termasuk anggota kabinet yang terlihat kurang serius bekerja.

Teguran Menpora kepada PSSI semakin memperlihatkan peta pemahaman atas persoalan yang sebenarnya. Yaitu Andi Mallarangeng sebagai Menteri tidak memahami dan menyelami persoalan akut dalam cabang olahraga yang paling banyak penggemarnya di Indonesia itu.

Sejatinya insiden PSSI versus panpel Sepakbola PON, itu bukan tanpa sebab. Melainkan merupakan buntut dualisme kepemimpinan PSSI yang sampai kini berlarut-larut. Insiden itu seperti bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Dan Menpora semestinya tahu siapa yang merakit bom waktu itu dan kapan hendak diledakkan.

Jika Menpora sungguh-sungguh punya kepedulian dalam sepakbola termasuk penyelenggaraan PON XVIII, hal-hal seperti itu, seharusnya bisa dicegah atau diantisipasi secara dini. Melalui jaringan dan birokrasi yang ada, Menpora bisa mencarikan solusi. Apalagi konflik dalam tubuh PSSI itu bukan persoalan yang masih bersifat rahasia.

Hanya saja yang terjadi selama ini, Menpora lebih terkesan tampil sebagai anggota kabinet yang memimpin organisasi politik atau melihat olahraga hanya dari sisi pandang yang terbatas. Sebagai politisi, dia menjaga keseimbangan dan tak akan mau menciptakan musuh baru. PON seolah disejajarkannya dengan Rapat Kerja Partai Politik yang kalaupun ada kekurangan di sana sini, tak akan menimbulkan masalah. Sebab raker hanya simbol.

PON diselenggarakan setiap empat tahun. Dan penetapan Riau sebagai tuan rumah bukan baru terjadi 4 tahun lalu. Bahkan sudah ditetapkan sejak 8 tahun sebelumnya. Penetapan tuan rumah PON dilakukan melalui tender. Sehingga secara profesional cara pemilihan tuan rumah, sudah mirip dengan Olimpiade.

Menpora tidak belajar dari Inggris saat menggelar Olimpiade 2012. Yang ditetapkan sebagai Ketua, Sebastian Coe, seorang pelari legendaris yang sudah diberi gelar Lord. Demi nama baik Inggris, kerajaan masih memperkuat Sebastian dengan tim pencitraan yang dipimpin pewaris kerajaan, Pangeran William dan pesepakbola selebriti David Beckham.

Pada Minggu 9 September 2012, Menpora mengundang sebuah kru tv swasta untuk mendampinginya melakukan inspeksi di venue PON. Repoter TV melaporkan bahwa di sana-sini masih terlihat banyak bangunan yang belum selesai dan ada lahan yang masih berbentuk tanah liat.

Tapi bekas Jubir Presiden ini, sambil berjalan diiringi jurukamera dan reporter berkali-kali menegaskan optimistis PON bisa diselenggarakan. Sehingga yang terkesan adalah Menpora mencoba menggunakan pers untuk menutupi ketidaksiapan dalam penyelenggaraan PON. Menpora mengganggap publik bisa diberinya informasi asal-asalan.

Cara ini di era keterbukaan, tidak sepatutnya dilakukan oleh pejabat negara. Seharusnya Menpora sportif dan memberi teladan, ia harus berani mengakui kelemahannya dalam mengurus dunia olahraga. Bahkan bila perlu secara gentlemen mengundurkan diri dari jabatannya, tanpa menunggu munculnya debat tak berkesudahan.

Jika Menpora bertahan dengan egonya seperti pepatah usang yang mengatakan: "the king (minister) can do no wrong", maka hal ini akan memperkuat persepsi bahwa pejabat tinggi RI sekarang, memang tidak punya jiwa negarawan. Mereka merasa selalu benar dan yang salah adalah rakyat.

Padahal sejatinya yang terjadi adalah semakin sulit bangsa ini membedakan, mana yang benar dan mana yang salah. Atau boleh jadi, bangsa kita sedang digiring oleh para elit untuk berpikir dengan logika terbalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar