Berita yang menyebutkan bahwa Menpora Andi Mallarangeng menegur PSSI agar tidak mengacaukan PON, terkesan sangat baik.
Teguran
tersebut menunjukkan, Menpora bekerja secara sungguh-sungguh dan ingin
mencegah terjadinya gangguan pada pelaksanaan PON XVIII, PON Pemersatu.
Teguran Menpora terkait tindakan pengurus PSSI versi Djohar Arifin yang
menarik para wasit PSSI menjelang penyelenggaraan turnamen sepakbola
PON.
Akibat penarikan wasit itu, pelaksanaan pertandingan
sepakbola sempat terganggu sebab panitia pelaksana harus mencari wasit
pengganti dalam situasi kepepet. Tapi patutkah Menpora menegur PSSI, di
saat kinerja Menpora sebagai petinggi Indonesia yang bertanggung jawab
dalam dunia olahraga nasional sedang dipertanyakan?
Apapun alasan
Menpora, carut marut yang terjadi dalam pelaksanaan PON XVIII tidak
lepas dari rendahnya kinerja sang Menteri. Andi Mallarangeng yang
sebelumnya dikenal sebagai seorang intelektual muda yang berwawasan,
sehingga ketika diangkat selaku Jubir Presiden SBY, mampu menampilkan
citra SBY sebagai pemimpin yang berkualitas, setelah diangkat menjadi
Menpora justru melempem.
Lihat saja carut marut dalam PON XVIII
sehingga terkesan Menpora tidak bekerja sebagaimana seharusnya, tidak
melakukan pengawasan atas persiapan PON yang digelar 4 tahun sekali itu.
Atau kalaupun Menpora melakukan tugas itu, dia tidak melakukannya
dengan "hati". Menpora tidak menghayati apa hakekat PON, pesta olahraga
yang digelar sejak 1948, untuk mempersatukan bangsa Indonesia.
Tanpa
dia sadari, penyelenggaraan PON kali ini dengan dana yang mengucurkan
dana triliunan rupiah, selaku pembantu Presiden SBY, Menpora telah ikut
merusak citra atasannya. Betapa rugi bangsanya ini akibat PON yang sudah
dibiayai dengan dana triliunan rupiah, hasilnya hanya menghasilkan
konflik.
Menpora patut dimintai tanggung jawab, sebab selain PON
Riau yang penuh carut marut, kekisruhan yang mengawali penyelenggaraan
PON XVIII, mengingatkan peristiwa yang hampir serupa yang terjadi dalam
penyelenggaraan SEA Games November 2011 lalu. Dimana sangat terasa,
Menpora "tidak hadir" secara fisik dan kejiwaan dalam event
internasional tersebut.
Ketika Palembang dan Jakarta menjadi tuan
rumah SEA Games 2011, banyak venue dan infrastruktur di Palembang yang
tidak selesai sesuai waktu yang dijadwalkan. Hiruk pikuk yang bersumber
pada kegagalan berkoordinasi di antara panitia, terdengar dimana-mana.
Akibatnya,
SEA Games dapat terselenggara tetapi begitu banyak "bopeng" yang
terjadi di sana. Pasca SEA Games panitia masih dibebani oleh tuntutan
tagihan ratusan miliar sejumlah kontraktor.
Menpora patut didesak
mundur dari jabatannya. Karena baik PON XVIII dan SEA Games 2011, juga
menghadirkan kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat dinas
olahraga yang nota bene merupakan anak buah Menteri Mallarangeng.
Selain
SEA Games dan PON, Menpora sebagai penanggung jawab tertinggi di dunia
olahraga nasional, juga telah gagal membawa misi Indonesia di Olimpiade
London, Juli-Agustus 2012 lalu.
Di pesta olahraga dunia itu,
Indonesia tidak meraih medali emas sama sekali. Bulutangkis yang sejak
dipertandingkan di Olimpiade selalu mempersembahkan emas kepada bangsa,
di era kepimpinan Andi Mallarangeng, tidak membawa medali sama sekali.
Dan ini untuk pertama kalinya bulutangkis tanpa medali emas!
Tidak
hanya itu pebulutangkis Indonesia didiskualifikasi dari pertandingan
setelah "bermain sabun", hal yang bertentangan dengan sportifitas dan
spirit olahraga.
Memang yang bertanding di lapangan, bukan
Menpora. Begitu pula yang mengerjakan proyek PON dan SEA Games, bukan
Menteri Mallarangeng. Tapi kegagalan demi kegagalan di atas dan terjadi
dalam waktu yang berurutan pada tempo yang berdekatan, cukup menunjukkan
Menpora termasuk anggota kabinet yang terlihat kurang serius bekerja.
Teguran
Menpora kepada PSSI semakin memperlihatkan peta pemahaman atas
persoalan yang sebenarnya. Yaitu Andi Mallarangeng sebagai Menteri tidak
memahami dan menyelami persoalan akut dalam cabang olahraga yang paling
banyak penggemarnya di Indonesia itu.
Sejatinya insiden PSSI
versus panpel Sepakbola PON, itu bukan tanpa sebab. Melainkan merupakan
buntut dualisme kepemimpinan PSSI yang sampai kini berlarut-larut.
Insiden itu seperti bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Dan Menpora
semestinya tahu siapa yang merakit bom waktu itu dan kapan hendak
diledakkan.
Jika Menpora sungguh-sungguh punya kepedulian dalam
sepakbola termasuk penyelenggaraan PON XVIII, hal-hal seperti itu,
seharusnya bisa dicegah atau diantisipasi secara dini. Melalui jaringan
dan birokrasi yang ada, Menpora bisa mencarikan solusi. Apalagi konflik
dalam tubuh PSSI itu bukan persoalan yang masih bersifat rahasia.
Hanya
saja yang terjadi selama ini, Menpora lebih terkesan tampil sebagai
anggota kabinet yang memimpin organisasi politik atau melihat olahraga
hanya dari sisi pandang yang terbatas. Sebagai politisi, dia menjaga
keseimbangan dan tak akan mau menciptakan musuh baru. PON seolah
disejajarkannya dengan Rapat Kerja Partai Politik yang kalaupun ada
kekurangan di sana sini, tak akan menimbulkan masalah. Sebab raker hanya
simbol.
PON diselenggarakan setiap empat tahun. Dan penetapan
Riau sebagai tuan rumah bukan baru terjadi 4 tahun lalu. Bahkan sudah
ditetapkan sejak 8 tahun sebelumnya. Penetapan tuan rumah PON dilakukan
melalui tender. Sehingga secara profesional cara pemilihan tuan rumah,
sudah mirip dengan Olimpiade.
Menpora tidak belajar dari Inggris
saat menggelar Olimpiade 2012. Yang ditetapkan sebagai Ketua, Sebastian
Coe, seorang pelari legendaris yang sudah diberi gelar Lord. Demi nama
baik Inggris, kerajaan masih memperkuat Sebastian dengan tim pencitraan
yang dipimpin pewaris kerajaan, Pangeran William dan pesepakbola
selebriti David Beckham.
Pada Minggu 9 September 2012, Menpora
mengundang sebuah kru tv swasta untuk mendampinginya melakukan inspeksi
di venue PON. Repoter TV melaporkan bahwa di sana-sini masih terlihat
banyak bangunan yang belum selesai dan ada lahan yang masih berbentuk
tanah liat.
Tapi bekas Jubir Presiden ini, sambil berjalan
diiringi jurukamera dan reporter berkali-kali menegaskan optimistis PON
bisa diselenggarakan. Sehingga yang terkesan adalah Menpora mencoba
menggunakan pers untuk menutupi ketidaksiapan dalam penyelenggaraan PON.
Menpora mengganggap publik bisa diberinya informasi asal-asalan.
Cara
ini di era keterbukaan, tidak sepatutnya dilakukan oleh pejabat negara.
Seharusnya Menpora sportif dan memberi teladan, ia harus berani
mengakui kelemahannya dalam mengurus dunia olahraga. Bahkan bila perlu
secara gentlemen mengundurkan diri dari jabatannya, tanpa menunggu
munculnya debat tak berkesudahan.
Jika Menpora bertahan dengan
egonya seperti pepatah usang yang mengatakan: "the king (minister) can
do no wrong", maka hal ini akan memperkuat persepsi bahwa pejabat tinggi
RI sekarang, memang tidak punya jiwa negarawan. Mereka merasa selalu
benar dan yang salah adalah rakyat.
Padahal sejatinya yang terjadi
adalah semakin sulit bangsa ini membedakan, mana yang benar dan mana
yang salah. Atau boleh jadi, bangsa kita sedang digiring oleh para elit
untuk berpikir dengan logika terbalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar